Aldwin Rahadian: GKR Hemas Tak Bisa Gugat OSO Soal Sengketa Pimpinan DPD

Aldwin Rahadian: GKR Hemas Tak Bisa Gugat OSO Soal Sengketa Pimpinan DPD

Pimpinan Kongres Advokat Indonesia (KAI) Aldwin Rahadian menegaskan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan pimpinan DPD di bawah kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO) sah secara hukum karena dipandu oleh Pelaksana harian (Plh) ketua Mahkamah Agung RI H Suwardi.

Menurut Aldwin, gugatan TUN yang dilayangkan mantan Pimpinan DPD RI GKR Hemas dkk, yang tidak dijawab oleh Ketua MA dalam waktu 10 hari bukan objek sengketa TUN karena ia bukan keputusan Tata Usaha Negara. Maka itu, tiga pimpinan DPD, Oso, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis sah secara hukum dan tak dapat gugat.

“Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) dalam waktu 10 hari jika pejabat TUN yang bersangkutan tidak memberikan jawaban atas permohonan tersebut maka dia dianggap setuju dengan permohonan si pemohon. Dalam teori hal ini dikenal dengan sebutan “KTUN Fiktif Positif”. GKR Hemas menggugat ke PTUN agar ketua MA RI menerbitkan keputusan tertulis atas KTUN Fiktif positif ini,” ujar Aldwin.

Hal tersebut disampaikan Aldwin saat menjadi narasumber pada acara diskusi bertajuk “Menakar Legalitas Pimpinan DPD RI Pada Masa Kekinian” di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (29/5/2017).

Menurut Aldwin, berdasarkan Asas Presumptio Justae Causa, Oesman Sapta, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis tetap sah sebagai Pimpinan DPD RI sampai norma penetapan pengangkatan mereka dinyatakan tidak berlaku. Apalagi, pengangkatan Pimpinan DPD RI dilakukan oleh Pimpinan sementara DPD RI dengan kesepakatan dalam sidang, sebagaimana diatur Pasal 260 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3.

Asas Presumptio Justae Causa menyebutkan bahwa suatu norma (baik pengaturan maupun penetapan) tetap berlaku selama belum diganti/dicabut. Menurut Aldwin, pencabutan keberlakuan dari suatu norma dapat melalui 3 (tiga) cara:

Pertama, dengan pencabutan serta merta oleh pejabat yang berwenang untuk itu (yang kedudukannya setara dengan pembuat norma atau bahkan lebih tinggi dan sesuai dengan fungsinya) sehingga peraturan terkait yang berlaku sebelumnya akan berlaku kembali;

Kedua, dengan Perubahan atau Penggantian oleh norma yang sama atau lebih tinggi kedudukannya; atau

Ketiga, oleh Putusan Pengadilan (MK untuk norma pengaturan berupa UU, MA untuk norma pengaturan berupa di bawah UU maupun PTUN untuk penetapan/beschikking).

Dalam kesempatan itu, Aldwin mempertanyakan apakah tindakan ketua MA yang “mendiamkan” permohonan GKR Hemas dianggap sebagai tindakan ketua MA sebagai Pejabat TUN? Menurutnya, sikap Ketua MA yang mendiamkan permohonan gugatan yang dilayangkan GKR Hemas bukanlah KTUN Fiktif positif karena yang dilakukan oleh MA dalam hal ini melakukan tugas sebagai lembaga Yudikatif yakno melakukan pengangkatan sumpah saja, dan bukan memutuskan siapa yang menjadi pimpinan DPD RI.

Aldwin menambahkan, secara formil, Berita Acara Sumpah dan Pemanduan Sumpah tidak memiliki dampak langsung bagi subyek dalam KTUN, sehingga bahkan dalam UU PTUN (vide Pasal 1 butir 9 UU PTUN) ia tidak bersifat konkrit sehingga baik dari segi materiil (isi berita acara dan pemanduan sumpah) maupun formil (akibat hukum), maka tindakan hukum ketua MA dalam hal pengangkatan sumpah Pimpinan DPD RI bukan tindakan TUN atau administrasi bukan objek yang dapat digugat di PTUN.

“Bahwa secara formil, Berita Acara Sumpah dan Pemanduan Sumpah tidak memiliki dampak langsung bagi subyek dalam KTUN, sehingga bahkan dalam UU PTUN (vide Pasal 1 butir 9 UU PTUN) ia tidak bersifat konkrit sehingga baik dari segi materiil (isi berita acara dan pemanduan sumpah) maupun formil (akibat hukum), maka tindakan hukum ketua MA dalam hal pengangkatan sumpah Pimpinan DPD RI bukan tindakan TUN atau administrasi dan bukan objek yang dapat digugat di PTUN,” tutup Ketua DPD HAMI DKI ini. sumber

Related Posts

Leave a Reply